Senin, 14 November 2016

Hukum Moral



Hukum Moral
Dalam konteks hukum positif, aturan baik-buruk atau benar-salah dapat diukur dengan menempatkannya pada ketentuan peraturan perundang-perundangan. Contohnya, seseorang yang kedapatan mencuri. Dalam satuan hukum positif, mencuri itu dapat diganjar dengan aturan perundang-undangan. Akan tetapi, mencuri dapat pula diganjar dengan hukuman yang bersifat etis yang dalam ukuran moralitas perbuatan mencuri dianggap sebagai suatu perbuatan yang salah dan buruk.
Jika argumentasi dasar seperti di atas dan penjelasan pada subbab telah cukup jelas menggambarkan begaimana hubungan hukum dan moral, pertanyaan kemudian yang muncul adalah mungkinkah menciptakannya hukum moral yang dipandanga sebagai keseluruhan kaidah-kaidah atau norma-norma yang mengatur masalah moral, sebagai salah satu atau cabang ilmu hukum?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut bukanlah hal yang mudah, karena lingkup yang diatur dalam ranah moral sangatlah abstrak. Jika yang menjadi cakupan hukum adalah baik dan buruk dan kemudian diejawantahkan dalam bentuk aturan-aturan kemudian itulah yang dianggap hukum moral, maka pertanyaan berikutnya, siapa subjek dan objek hukum dan moral tersebut?
Jika kemudian yang dipandang sebagai sumber hukum moral adalah manusia, masyarakat, dan/atau negara, sedangkan objeknya adalah perilaku yang lahir dari kewajiban-kewajiban, maka bagaimana hukum moral mendeskripsikan aturan-aturannya.
Menurut Kant, seseorang yang bertindak demi hukum moral berarti ia bertindak berdasarkan kewajiban-kewajiban sebagai pengejawantahan dari kehendak baik, dan karenanya tindakannya itu baik secara moral. Untuk membedah lebih detail tentang pendapat Kant tentang hukum moral, maka berikut akan diuraikan apa yang dimaksud Nietzsche ini akan melihat bagaimana kewajiban yang melekat pada setiap individu baik tuan maupun budak mengejawantahkan kehendak baiknya.
Moralitas tuan dalam gambaran Nietzsche, yaitu ungkapan hormat dan pengahrgaan terhadap diri mereka sendiri. Mereka sungguh yakin bahwa segala tindakannya adalah baik, meskipun secra morak mereka tidak mengklaimnya sebagai moralitas universal. Sehingga ukuran baik dan buruk bukan didasarkan pada tindakan atau perilaku dari si tuan, akan tetapi pada pribadi yang melakukannya.
Sementara dalam moralitas budak, Nietzsche menggambarkan bahwa para budak tidak pernah bertindak atas kemauan mereka sendiri, selalu atas perintah sang tuan. Dalam pandangan mereka, ketika bertindak atas kemauan sendiri, maka pada saat yang bersamaan telah terjadi penyangkal secara kodrati sebagai seorang budak. Oleh karena itu, yang dikatakan baik, bukan pada kemerdekannya dan kedaulatan, akan tetapi pada simpati, kerendahan hati dalam hubungannya dengan status budak yang disandangnya.
Gambaran moralitas tuan dan budak yang digambarkan Nietzsche dalam hubungannya dengan apa yang dikemukakan oleh Kant, maka yang dianggap baik secara moral oleh tuan dan budak adanya ketika urusan moralitas disandarkan pada sastra yang melekat pada dirinya. Sehingga dapat dikatakan bahwa itulah aturan-aturan yang mereka pandang sebagai aturan moralitas mereka. Atau dengan kata lain, dalam pandangan tuan dan budak, itulah yang dianggap sebagai hukum moral.
Kehidupan moral dalam hal ini kehendak baik dapat ditemukan dalam afirmasi dasar hukum moral. Tindakan individual baik secara moral, bukan hanya karena kebetulan sesuai dengan hukum moral, melainkan juga karena mengalir karena sumbernya, nilai moral dari objek. Karena, tindakan moral itu diarahkan menuju objek dan menerima ciri etis dari objek tersebut. manusia menjadi baik secara moral dengan menerima dunia nilai-nilai seperti ditemukannya dan dikejarnya. Oleh karena itu, prinsip dasar moralitas berupa pencarian dasar seluruh nilai objektif, tidak dapat ditemukan dalam otonomi dan struktur rasional dari imperatif kategoris yang dikemukkan oleh Kant.
Sumber: Aburaera, Sukarno dkk. 2013. Filsafat Hukum: Teori dan Praktek. Jakarta: Prenada Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar