Senin, 14 November 2016

Filsafat India



Filsafat India
India dipandang sebagai salah tonggak peradaban tertua di dunia yang ditandai dengan ditemukannya situs di sekitar lembah sungai Indus. Imigrasi besar-besaran yang dilakukan suku bangsa Arya dari utara India, yang masuk ke lembah sungai Indus antara 1700-1400 SM menandai suatu perubahan penting dalam sejarah filsafat India. Mereka memperkenalkan ajaran-ajaran baru yang termaktub dalam literatur suci yang disebut Weda (sering kali juga ditulis “Veda”). Keberadaan literatur suci ini membawa pengaruh luas dalam pemikiran dan sisitem kepercayaan bangsa India pada masa itu, sekaligus menjadi titik awal sejarah filsafat India. Filsafat india pada dasarnya dapat dikategorikan pada tahap besar, yaitu priode weda, priode klasik, priode post-klasik, dan filsafat India baru (modern).
Babakan awal yang telah dimulai pada zaman weda dilengkapi dengan nyanyian-nyanyian pemujaan yang ditujukan pada eksistensi Dewa yang kemudian diwujudkan dalam kitab-kitan Upanished yang merupakan repleksi Weda. Pada zaman Weda pulalah pemikiran filsafat Indian dimulai dengan menjadikan alam semesta (makroskomos) sebagai objek utama pembahasannya dalam konteks kosmologi. Manusia dipandang sebagai bagian kecil dari korelasi makro dan mikroskomos dan selalu berada pada orbit yang sama. Dalam hal ini, manusia tidak dapat berkonfortasi dengan alam, karena itu manusia takluk dan wajib bersahabat dengan alam.
Pada tahapan priode klasik, filsafat India berkembang dalam ranah kesatuan substansi rohani yang digambarkan sebagai bagian terintegral dengan jiwa individual. Dalam masa ini pula perlawanan-perlawanan terhadap pandangan kaum materialistis dan ateis menjadi “warna” dominan dalam menyangkal atau bentuk perlawanan terhadap otoritas weda.
Filsafat India sebagian besar bersifat mistis dan intuitif. Peranan rasio baru agak menonjol pada kurun terakhir perjalanannya, yakni setelah berkenalan dengan filsafat barat zaman modern. Menurut radhakrishnan dan Moore, ada tujuh ciri umum yang mewarnai hempir seluruh sistem filsafat india, yang pada pokoknya dinyatakan sebagai berikut:
a.       Ciri pertama adalah motif spiritual yang mendasarinya. Motif ini mewarnai usaha filsafat India dalam konteks hidup pada umumnya. Kecuali aliran materialisme hedonistik seperti Carvaka, semua aliran yang lain mengakui adanya esensi spiritual. Itulah sebabnya, penghayatan keagamaan dan agama terkait dengan usaha fisiologi dan filsafat.
b.      Ciri kedua ialah filsafat India ditandai dengan sikap instrosfektif terhadap realitas. Filsafat dipahami sebagai atmavidya, pengetahuan akan diri. Oleh karena itu, perhatian lebih ditekankan pada subjektivitas dan objektivitas. Karena itu pula, psikologi dan etika dianggap lebih penting daripada pengetahuan alam atau ilmu pengetahuan positif yang tetap menjadi bagian dari kesibukan mereka juga.
c.       Ciri ketiga adalah adanya hubungan erat antara hidup dan filsafat. Tendensi ini kita temukan dalam setiap filsafat India.
d.      Tendensi introspektif ini membuat filsafat India lebih bersifat idealis. Inilah ciri umum keempat. Bukannya berarti tidak ada dualisme atau pluralisme, tetapi kalaupun ada, dualisme atau pluralisme itu telah diresapi oleh ciri monistik yang kuat.
e.      Hanya institusilah yang diakui sebagai mampu menyingap yang tertinggi. Inilah ciri kelima. Ini tidak berarti bahwa pemikiran ditolak. Pemikiran, pengetahuan intelektual dianggap tidak mencukupi. Oleh karena itu, kata yang tepat untuk filsafat adalah darasana yang dari kata dasarnya “drs” berarti melihat, suatu pengalaman intuitif langsung. Pemikiran diakui mampu menunjukan kebenaran, tanpa ia sendiri mampu menemukan dan mencapainya.
f.        Ciri keenam adalah penerimaan terhadap otoritas. Kendati dalam tingkat tertentu sistem-sistem filsafat India berbeda-beda dalam keterkaitannya denfan sruti, namun tidak satupun sistem-sistem yang ada kecuali Carvaka yang secara terang-terangan mengabaikan insight intuitif yang diajarkan oleh para guru upanishad, Budha, dan Mahavira. Barata mengartikan sruti sebagai pengetahuan yang diturunkan sebagai tanda-tanda, simbol atau kata. Termasuk didalamnya adalah asosiasi, perhatian, pengalaman dan nyaya, yang berarti aspek-aspek arti yang ada pada benda-benda.
g.       Ciri terakhir adalah adanya tendensi untuk mendekati, berbagai aspek pengalaman dan realitas dengan pendekatan sintetis. Ciri setua Rg weda (sering kali ditulis reg weda) yang memahami bahwa agama yang benar akan mencakup semua agama, sehingga “Tuhan itu satu, tetapi manusia menyebutnya dengan banyak nama”. Agama dan filsafat, pengetahuan dan perbuatan, intuisi dan pemikiran, Tuhan dan manusia, neumena dan fenomena, semua dipandang sebagai dan diletakan dalam suatu harmoni justru karena adanya tendensi sintesis ini. Visi sintesis ini yang menyebabkan semua sistem dapat hidup dalam toleransi.
Sumber: Aburaera, Sukarno dkk. 2013. Filsafat Hukum: Teori dan Praktek. Jakarta: Prenada Media.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar